Jiwa Bangsa: Menyelamatkan Pendidikan Karakter dari Kebijakan ke Praktik

Oleh : Muchammad Fatchur Rochman

Krisis Moral

Indonesia, sebuah kepulauan luas yang diikat oleh motto kuat “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-Beda Tetapi tetap Satu), sedang menghadapi krisis mendalam yang ada hubungannya dengan bidang ekonomi atau infrastruktur, kesemuanya ini berkaitan dengan jiwa(ruh)nya. Hal ini  adalah krisis karakter, yang terlihat jelas di headline berita dengan menampakkan wajah sekolah-sekolah. Pada tahun 2023 saja, Federasi Asosiasi Guru Indonesia (FSGI) mencatat 23 kasus perundungan, dengan setengah di antaranya terjadi di sekolah menengah dan beberapa di antaranya berakibat fatal atau cedera serius. Kenyataan mengkhawatirkan ini, yang mencakup segala hal mulai dari serangan kekerasan hingga bunuh diri, bertolak belakang dengan visi ambisius negara untuk pendidikan karakter, yang menjadi landasan pembangunan nasional. Pemerintah telah membangun kerangka kebijakan yang menyeluruh, mendalam, dan mulia. Namun jurang yang berbahaya telah terbentuk diantara aspirasi mulia ini dengan realitas yang keras dilapangan.

Meskipun Indonesia telah menetapkan kebijakan komprehensif untuk pendidikan karakter, implementasinya di dunia nyata gagal secara kritis akibat ketidakcocokan sistemik antara kebijakan, praktik, dan kemitraan orang tua. Untuk menghindari krisis karakter nasional yang sesungguhnya, Indonesia harus melampaui perintah top-down dan mengembangkan ekosistem karakter yang holistik melalui pemberdayaan guru di tingkat akar rumput, keterlibatan yang bermakna dengan keluarga, dan integrasi yang autentik dari kebijaksanaan lokal. Transformasi ini bukan sekadar reformasi Pendidikan,  ini adalah keharusan nasional untuk bertahan dan kuat di abad ke-21.

Janji di Kertas vs. Bahaya di Lapangan

Di atas kertas, komitmen Indonesia terhadap pengembangan moral tak tertandingi. Landasan filosofis negara, Pancasila, menanamkan prinsip-prinsip keyakinan pada Tuhan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Berlandaskan hal ini, maka pada tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Kurikulum 2013 sebagai kekuatan karakter bangsa, yang mewajibkan keseimbangan antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Peraturan ini menetapkan lima nilai inti yang harus ditanamkan pada setiap siswa: keagamaan, integritas, nasionalisme, kemandirian, dan gotong royong. Tujuannya holistik: membentuk warga negara yang tidak hanya cerdas, tetapi juga baik hati, bertanggung jawab, dan tangguh.

Namun, arsitektur kebijakan yang dirancang sangat cermat ini bertentangan secara mengkhawatirkan dengan pengalaman nyata banyak siswa. Statistiknya adalah bukti kegagalan yang terus-menerus. Di luar serangan perundungan yang fatal yang berakibat dengan kematian, pasca insiden perundungan ekstrem telah meninggalkan anak-anak dengan luka permanen dan trauma psikologis yang mendalam. Ini bukanlah peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari masalah yang lebih dalam yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan. Walaupun pemerintah sudah merancang dan menerapkan program PPK untuk mencegah perilaku negatif, kenyataannya perilaku buruk itu masih marak terjadi. Ketidakcocokan ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa niat baik pemerintah tidak terwujud dalam lingkungan sekolah yang lebih aman dan penuh kasih sayang?

Studi Kasus 1: Insiden Bullying di Cilacap – Miniatur Kegagalan Nasional

Pada September 2023, sebuah video dari Cilacap, Jawa Tengah, menjadi viral dan menimbulkan kegemparan nasional. Video tersebut memperlihatkan seorang siswa SMP dipukul, ditendang, dan diinjak-injak secara brutal oleh teman sekelasnya, sementara belasan siswa lain hanya menonton, beberapa di antaranya merekam penyerangan tersebut dengan ponsel mereka. Korban memang mengalami patah tulang rusuk, tetapi kerusakan terhadap kondisi psikologis bangsa (mental kolektif masyarakat) bisa jadi lebih parah. Insiden ini menjadi gambaran nyata dari keruntuhan karakter. Pelaku menunjukkan ketidakpedulian yang mengerikan, sementara para penonton menunjukkan ketidakberanian dan ketidakpedulian sosial yang seharusnya ditanamkan melalui pendidikan karakter.

Penyelidikan mengungkapkan bahwa pelaku memiliki riwayat kekerasan, menunjukkan bahwa intervensi sebelumnya, jika ada, sepenuhnya tidak efektif. Kasus ini menggambarkan kegagalan di berbagai tingkatan. Bagi siswa, nilai-nilai inti seperti perdamaian, persahabatan, dan kepedulian sosial tidak ada. Bagi sekolah, hal ini menunjuk pada potensi kegagalan dalam melakukan pengawasan serta menciptakan budaya di mana siswa merasa aman dan berdaya untuk turut campur saat ada masalah. Bagi sistem yang lebih luas, hal ini menyoroti bahwa sekadar mencantumkan nilai-nilai seperti “cinta damai” dalam dokumen pemerintah tidak berarti apa-apa jika nilai-nilai tersebut tidak secara aktif dicontohkan, diajarkan, dan ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari sekolah. Kasus Cilacap bukan hanya cerita tentang satu tindakan kekerasan; ini adalah bukti adanya jurang yang lebar antara kebijakan dan praktik, jurang yang anak-anak terjatuh ke dalamnya.

Titik Tumpu yang Terlalu Beban: Mengapa Guru Terpuruk

Di pusat krisis implementasi ini terdapat para guru Indonesia. Mereka adalah poros utama yang menopang proyek nasional ini, namun seringkali terbebani, kurang terlatih, dan tidak didukung. Harapan yang ditempatkan pada mereka sangat besar: mereka tidak hanya harus menjadi pendidik yang mentransfer pengetahuan, tetapi juga teladan hidup dari 18 nilai karakter nasional, merupakan konsep yang mendalam pada prinsip Jawa “digugu lan ditiru” (untuk didengarkan dan ditiru). Hal ini menempatkan beban yang sangat berat pada pendidik untuk menjadi teladan yang sempurna, standar yang sulit dipertahankan di tengah tekanan pekerjaan.

Tantangan ini bersifat multifaset. Banyak guru melaporkan bahwa mereka menerima pelatihan yang tidak memadai tentang cara mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran mereka secara efektif. Mereka diberikan kurikulum yang kompleks tetapi tidak dilengkapi dengan alat inovatif atau panduan teknis yang jelas untuk mengimplementasikannya, yang menyebabkan kebingungan dan penerapan yang tidak konsisten. Hal ini terutama terasa di daerah pedesaan dan terpencil, di mana akses ke sumber daya, pelatihan, dan dukungan pemerintah seringkali sangat terbatas. Selain itu, penilaian karakter menjadi hambatan besar. Guru diharapkan mendokumentasikan perubahan perilaku yang halus di kelas besar, seringkali tanpa alat ukur standar dan praktis, yang mengakibatkan penekanan berlebihan pada pembelajaran kognitif dan pengabaian penilaian sikap.

Salah satu tantangannnya yaitu tantangan pedagogis, tantanga ini adalah masalah kesejahteraan guru yang sering diabaikan. Beban kerja yang berat, gaji rendah bagi banyak guru, dan lingkungan kerja yang penuh tekanan berkontribusi pada kelelahan, yang secara langsung mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi teladan yang sabar dan empati yang dibutuhkan siswa. Sistem ini meminta guru untuk memberikan dari cangkir yang kosong, situasi yang tidak berkelanjutan dan tidak adil.

Studi Kasus 2: Perjuangan Diam-diam Guru di Daerah Terpencil

Meskipun peristiwa dramatis seperti kasus perundungan di Cilacap menarik perhatian media, masalah yang lebih kronis dan meluas terjadi setiap hari di ribuan sekolah, terutama di daerah terpencil dan beragam di Indonesia. Laporan tahun 2021 dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang pendidikan selama pandemi menyoroti hambatan struktural yang dihadapi guru, terutama di daerah terpencil. Guru-guru ini menghadapi infrastruktur yang buruk, termasuk koneksi internet dan listrik yang tidak stabil, yang menghambat akses ke sumber daya pengajaran modern dan saluran komunikasi pemerintah.

Bayangkan seorang guru di daerah terpencil di Maluku atau Papua. Mereka mungkin hanya menerima sosialisasi singkat dan tidak langsung tentang kerangka kerja PPK melalui kelompok kerja guru regional, tanpa pelatihan langsung dan praktis. Mereka ditugaskan untuk mengintegrasikan nilai-nilai seperti “kreativitas” dan “cinta membaca” ke dalam pelajaran mereka, tetapi tidak memiliki perpustakaan sekolah atau bahkan buku teks yang cukup. Mereka diharapkan menggunakan teknologi untuk meningkatkan pembelajaran, tetapi sekolah mereka tidak memiliki koneksi internet yang andal. Kelas mereka seringkali overcrowded, membuat pengamatan individu dan penilaian karakter hampir tidak mungkin dilakukan.

Ini adalah krisis implementasi yang tersembunyi. Guru-guru ini bukan tidak bersedia, mereka tidak dilengkapi dengan kesiapan yang baik. Rencana besar pemerintah pusat untuk pendidikan karakter sering terasa seperti mandat yang tidak didanai, kebijakan yang berasal dari Jakarta yang jauh dan tidak memperhitungkan realitas lingkungan mereka. Perjuangan mereka menunjukkan bahwa tanpa dukungan sistemik, termasuk pendanaan yang memadai, pelatihan yang disesuaikan dengan lokal, dan ekspektasi yang realistis, menjadikan kerangka kerja PPK tetap hanya niat mulia, meninggalkan guru maupun siswa di belakang yang jauh.

Menjembatani Kesenjangan: Potensi Tersembunyi Orang Tua dan Kebijaksanaan Lokal

Model pendidikan karakter saat ini menempatkan beban yang terlalu berat pada sekolah. Pendekatan yang dipakai saat ini secara fundamental keliru karena karakter tidak dibentuk hanya di dalam kelas, ia ditumbuhkan dalam keluarga dan komunitas. Salah satu tantangan utama yang diidentifikasi oleh sekolah adalah kurangnya keterlibatan orang tua dan ketidakcocokan antara nilai-nilai yang diajarkan di sekolah dengan perilaku yang ditunjukkan di rumah. Untuk benar-benar berhasil, pendidikan karakter harus menjadi upaya kolaboratif, kemitraan yang kuat antara sekolah, keluarga, dan komunitas.

Di sinilah potensi besar dua pendekatan yang belum dimanfaatkan sepenuhnya menjadi sorotan yaitu memanfaatkan kemitraan orang tua dan mengadopsi etnopedagogi. Integrasi kebijaksanaan lokal dan nilai-nilai budaya ke dalam proses pendidikan. Indonesia sumber harta karun budaya lokal, masing-masing dengan tradisi, cerita, dan kode moral yang kaya yang telah membimbing penduduknya selama berabad-abad. Nilai-nilai seperti gotong royong (kerja sama mutual), tepo seliro (empati dan toleransi), dan penghormatan terhadap orang tua bukanlah konsep abstrak, semuanya adalah prinsip-prinsip hidup yang tertanam dalam bahasa lokal, bentuk seni, dan ritual sosial.

Dengan mendasarkan pendidikan karakter pada konteks-konteks yang familiar dan relevan secara budaya, pembelajaran menjadi lebih bermakna dan aplikatif. Etnopedagogi bukan tentang menolak kerangka nasional, tetapi tentang menghidupkannya melalui lensa identitas lokal. Hal ini mengubah pendidikan karakter dari perintah top-down menjadi gerakan akar rumput, memperkuat identitas budaya dan ikatan komunitas dalam prosesnya.

Studi Kasus 3: Kesuksesan Sekolah Adat Arus Kualan di Kalimantan Barat

Di distrik Simpang Hulu, Kalimantan Barat, inisiatif luar biasa ini menunjukkan kekuatan mendalam pendidikan berbasis komunitas yang berakar pada budaya. Sekolah Adat Arus Kualan (Sekolah Adat Arus Kualan), didirikan pada tahun 2014 oleh para pemimpin muda Dayak, lahir dari kekhawatiran akan hilangnya pengetahuan budaya di kalangan pemuda. Sekolah ini beroperasi sebagai sekolah non-formal di mana siswa, setelah jam sekolah reguler, belajar langsung dari para sesepuh komunitas.

Kurikulumnya adalah budaya itu sendiri. Siswa belajar musik dan tarian tradisional, cara mengidentifikasi tanaman obat di hutan, seni tenun, serta filosofi yang terkandung dalam cerita dan permainan lokal. Mereka belajar pengelolaan lingkungan bukan dari buku teks, melainkan dengan berpartisipasi dalam penanaman pohon dan memahami hutan sebagai sumber penghidupan dan identitas komunitas mereka. Sekolah ini telah mendidik ratusan siswa, membina generasi yang tidak hanya melek teknologi tetapi juga bangga dan paham akan warisan Dayak mereka.

Kesuksesan Arus Kualan terletak pada model holistik dan terintegrasi dengan komunitasnya. Nilai-nilai PPK diajarkan secara otentik, nasionalisme dan patriotisme ditumbuhkan melalui cinta yang mendalam terhadap budaya lokal. Gotong royong dipraktikkan setiap hari, kemandirian dan kreativitas ditumbuhkan melalui pembelajaran kerajinan tradisional dan keterampilan bertahan hidup. Sekolah ini berhasil menjembatani generasi dan membuktikan bahwa ketika komunitas mengambil tanggung jawab atas pendidikan moral dan budaya anak-anaknya, hasilnya kuat dan berkelanjutan. Sekolah ini menjadi model vital tentang bagaimana etnopedagogi dapat menjadi kunci untuk menggali potensi sejati pendidikan karakter di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Membangun Ekosistem Karakter Nasional

Indonesia saat ini berada di persimpangan yang kritis. Desakan secara nasional untuk membangun generasi dengan karakter moral yang kuat merupakan langkah mulia dan diperlukan, namun strategi yang ada saat ini gagal memenuhi janji tersebut. Insiden kekerasan di sekolah yang memilukan bukanlah ‘kecelakaan’, itu adalah hasil akhir yang tragis dari sistem di mana kebijakan yang bermaksud baik tapi tidak sejalan dengan realitas implementasi, di mana guru-guru dipaksa bekerja di luar batas kemampuan mereka, dan di mana peran vital keluarga dan komunitas telah diabaikan.

Jalan ke depan tidak terletak pada meninggalkan kerangka nasional, melainkan pada pemikiran ulang yang mendasar tentang implementasinya. Hal ini memerlukan pergeseran besar-besaran dari model top-down yang berpusat pada sekolah menjadi ekosistem karakter yang kolaboratif dan berbasis masyarakat.

Transformasi ini harus didasarkan pada tiga pilar :

Pertama, pemerintah harus beralih dari memerintahkan menjadi memfasilitasi. Ini berarti menyediakan pelatihan yang kokoh, berkelanjutan, dan sesuai terhadap konteks yang dihadapi oleh guru, membekali mereka dengan ‘alat praktis’ yang dibutuhkan, dan memastikan sekolah-sekolah terutama di daerah terpencil, memiliki sumber daya dan dana yang cukup. Pemantauan harus lebih fokus pada dukungan substansial daripada kepatuhan birokratis.

Kedua, sekolah dan guru harus diberdayakan dan didukung. Hal ini tidak hanya melibatkan pengembangan profesional tetapi juga komitmen yang tulus terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka. Seorang guru yang didukung adalah guru yang efektif, yang memiliki kemampuan untuk menjadi teladan dan mentor yang sangat dibutuhkan oleh siswa.

Akhirnya, dan yang paling krusial, Indonesia harus menjembatani jurang antara gerbang sekolah dan rumah tangga dengan melibatkan orang tua sebagai mitra yang esensial dan memanfaatkan kekuatan mendalam dari kebijaksanaan lokal. Kisah sukses seperti Sekolah Adat Arus Kualan bukan hanya anekdot yang mengharukan, mereka adalah blueprint untuk masa depan. Mereka membuktikan bahwa ketika pendidikan berakar pada budaya autentik dan hidup suatu komunitas, ia beresonansi secara mendalam dan menciptakan dampak yang bertahan lama.

Dengan mengintegrasikan dukungan pemerintah, pemberdayaan guru, dan keterlibatan komunitas, Indonesia dapat menciptakan ekosistem yang kuat, tangguh, dan saling terhubung untuk pengembangan karakter. Inilah cara bangsa ini mengatasi krisis saat ini dan membina generasi yang tidak hanya unggul secara akademis tetapi juga berakhlak mulia, siap menjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika dan membangun masa depan yang lebih kuat dan penuh kasih sayang untuk semua.

Referensi:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

powered by viltis.projekt & bountec