MENGAPA PANCASILA DAN LITERASI DIGITAL ADALAH DUA PONDASI UTAMA INDONESIA DI ERA SOCIETY 5.0

Oleh : Muchammad Fatchur Rochman

Saat ini, kita berada di ambang Society 5.0, sebuah perubahan paradigma sosial yang berasal dari Jepang, yang membayangkan masa depan di mana teknologi melayani manusia dengan cara yang terintegrasi dan harmonis. Era ini, didorong oleh Internet of Things (IoT), Big Data, dan Kecerdasan Buatan (AI), menjanjikan kemajuan luar biasa di segala aspek kehidupan, dari kesehatan dan transportasi hingga industri dan, yang terpenting, pendidikan. Berbeda dengan pendahulunya, Industri 4.0, yang berfokus pada sistem teknologi itu sendiri, Society 5.0 mengusung pendekatan yang berpusat pada manusia. Era ini tidak hanya berharap warga negara menguasai sains dan teknologi, tetapi juga berkembang sebagai manusia seutuhnya yang inovatif, kreatif, dan berlandaskan etika. Namun, dunia baru yang menjanjikan ini juga membawa tantangan kompleks. Sebagai Indonesia, negara kepulauan yang dinamis dengan populasi muda, merangkul masa depan ini mengharuskan generasi muda yang tidak hanya cakap digital tetapi juga bermoral kuat. Ini bukan sekadar masalah reformasi pendidikan, melainkan pertanyaan tentang identitas dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, tulisan ini berargumen bahwa gabungan sinergis antara pendidikan karakter berbasis Pancasila dan literasi digital yang komprehensif bukan hanya bermanfaat, tetapi mutlak diperlukan untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia menghadapi dan membentuk era Society 5.0 secara bertanggung jawab.

Pedang Bermata Dua dari Society 5.0 : Peluang Besar dan Tantangan Baru
Daya tarik Society 5.0 tidak terbantahkan. Era ini menggambarkan “masyarakat super-cerdas” di mana ruang fisik dan siber bersatu untuk mengoptimalkan kehidupan. Bayangkan platform pembelajaran berbasis AI yang menyesuaikan dengan kecepatan dan gaya setiap siswa, smart city yang meningkatkan keberlanjutan dan kualitas hidup, serta sistem kesehatan yang menawarkan pengobatan preventif dan presisi berdasarkan data real-time. Dalam pendidikan, ini berarti akses tanpa batas ke informasi, kelas global kolaboratif, dan alat yang membuka potensi kreatif dengan cara yang sebelumnya tak terbayangkan. Siswa Indonesia, baik di Jakarta yang ramai maupun desa terpencil di Papua, secara teoritis dapat mengakses sumber pendidikan kelas dunia, menjembatani kesenjangan geografis dan sosial-ekonomi.

Namun, “Taman Eden digital” ini juga memiliki ancaman. Teknologi yang menghubungkan dan memberdayakan ini juga menghadirkan tantangan besar, terutama bagi “generasi alpha”, generasi yang tumbuh dalam lingkungan yang terus terpapar teknologi. Arus informasi yang cepat dan seringkali tidak tersaring dapat membingungkan, mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Dunia digital, meski menawarkan ruang untuk terhubung, juga bisa menjadi arena bagi bahaya baru. Guru dan orang tua bergulat dengan masalah seperti kecanduan teknologi, di mana godaan layar mengganggu konsentrasi dan interaksi dunia nyata. Anonimitas internet dapat mendorong perilaku merusak seperti perundungan siber, meninggalkan luka psikologis yang dalam pada korbannya.Lebih jauh, pengaruh konten digital global yang masif dapat mengikis nilai budaya lokal dan identitas nasional jika tidak diimbangi dengan penguatan moral yang kuat.

Tantangan pendidikan Indonesia bersifat multidimensi. Tidak hanya tentang beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat dan memastikan akses merata ke infrastruktur digital, tetapi juga tentang memperkuat sumber daya manusia yaitu pada siswa dan pendidik yang bertujuan untuk menavigasi harapan baru ini dengan kebijaksanaan dan ketahanan. Tujuannya adalah memanfaatkan kemanfaatan yang sangat besar pada Society 5.0 sambil mengurangi risikonya, memastikan teknologi menjadi alat untuk kemajuan manusia, bukan kekuatan yang mengurangi kemanusiaan kita.

Ke-Abadi-an PANCASILA : identitas Moral di Dunia yang kuat-Terhubung
Dalam pencarian entitas moral di tengah lautan transformasi digital yang bergolak, Indonesia memiliki aset berharga: PANCASILA. Lima prinsip dasar negara ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.  Semua silanya menawarkan kerangka kerja yang relevan untuk pengembangan karakter. Nilai-nilai Pancasila bukanlah relik kuno, melainkan kekuatan yang sangat relevan dengan dilema etika era Society 5.0.

Pendidikan karakter, yang dulu mungkin hanya bagian tambahan dari sekolah, kini menjadi prioritas. Ini adalah upaya sengaja untuk menanamkan nilai-nilai etika, moral, dan kewarganegaraan yang penting untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas tetapi juga berintegritas, berempati, dan memiliki rasa tanggung jawab yang kuat. Seperti yang dibayangkan Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, pendidikan harus berakar pada budaya dan komunitas bangsa, bertujuan untuk kebahagiaan dan keselamatan batin. Pancasila menyediakan landasan budaya dan filosofis ini.

Menyadari hal ini, pemerintah Indonesia berupaya menanamkan nilai-nilai ini lebih dalam ke dalam sistem pendidikan melalui inisiatif seperti program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), sebagaimana diatur dalam Perpres No. 87 Tahun 2017 dan Permendikbud No. 20 Tahun 2018. Gerakan ini mengkristalkan berbagai nilai karakter menjadi lima pilar utama: Religiusitas, Nasionalisme, Mandiri, Gotong Royong, dan Integritas. Pilar-pilar ini langsung menjawab tantangan era digital. Misalnya, ‘Religiusitas’ dan ‘Integritas’ membimbing perilaku etis di dunia maya, ‘Nasionalisme’ menumbuhkan cinta tanah air di tengah pengaruh global, ‘Mandiri’ mendorong pembelajaran mandiri dan berpikir kritis, dan ‘Gotong Royong’ mempromosikan kolaborasi dan kepedulian sosial, bahkan di ruang virtual.

Lebih lanjut, “Profil Pelajar Pancasila” menjadi komponen kunci dalam kurikulum Merdeka Belajar. Profil ini merangkum enam kompetensi inti:

  1. Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia: Menekankan fondasi moral dan etika dalam hubungan siswa dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
  2. Kebinekaan Global: Mendorong siswa mempertahankan identitas budaya sambil menghargai budaya lain, memupuk komunikasi antarbudaya.
  3. Gotong Royong: Menyoroti kemampuan berkolaborasi, peduli pada sesama, dan berbagi sumber daya untuk kebaikan bersama.
  4. Mandiri: Fokus pada kesadaran diri dan tanggung jawab atas proses belajar.
  5. Bernalar Kritis: Kemampuan mengolah informasi secara objektif, menganalisis argumen, dan membuat keputusan berdasarkan bukti.
  6. Kreatif: Mendorong siswa menghasilkan ide, solusi, atau karya yang orisinal dan berdampak.

Profil Pelajar Pancasila bukan sekadar daftar sifat ideal, melainkan visi holistik untuk membentuk individu yang siap menghadapi kompleksitas dunia modern dengan kebijaksanaan, integritas, dan komitmen untuk berkontribusi positif pada masyarakat. Namun, implementasinya menghadapi tantangan, seperti konsistensi penerapan di berbagai sekolah dan pelatihan guru yang memadai.

Literasi Digital sebagai Keterampilan Hidup Esensial Yang Lebih dari Sekadar Melek Teknologi
Di era di mana informasi berlimpah dan interaksi digital tak henti, literasi digital muncul sebagai keterampilan hidup mendasar, setara dengan membaca, menulis, dan berhitung. Ini lebih dari sekadar kemampuan teknis menggunakan perangkat digital. Literasi digital sejati mencakup berbagai kompetensi: kemampuan menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat, dan berbagi informasi secara bertanggung jawab dan etis. Ini melibatkan berpikir kritis untuk membedakan sumber kredibel dari misinformasi, memahami nuansa komunikasi daring, dan mengembangkan ketahanan terhadap ancaman digital seperti hoaks, penipuan, peretasan, dan pencurian data.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Kemendikbudristek menyadari urgensi meningkatkan literasi digital. Kerangka kerja Kominfo, misalnya, menekankan empat pilar: Keterampilan Digital, Budaya Digital, Etika Digital, dan Keamanan Digital. Indeks literasi digital nasional, meski menunjukkan peningkatan, juga mengungkap area yang perlu perhatian, terutama keamanan digital. Pada 2022, indeks keseluruhan adalah 3,54 dari 5 (kategori “sedang”), dengan Keamanan Digital paling rendah (3,12). Ini menunjukkan kerentanan pengguna terhadap risiko daring.

Tantangannya bukan sekadar memberi keterampilan teknis, tetapi menumbuhkan “kebijaksanaan digital” adalah pemahaman tentang kekuatan, keabadian, dan jebakan dunia digital. Ini termasuk literasi media (menganalisis pesan media secara kritis), literasi informasi (menilai kredibilitas informasi), dan pemahaman tentang kewarganegaraan digital (hak dan tanggung jawab daring). Tanpa kompetensi ini, terutama kaum muda, rentan terhadap manipulasi, eksploitasi, dan dampak psikologis negatif dari bahaya daring. Empati dan kedewasaan moral sangat penting untuk menavigasi komunitas daring yang beragam.

Studi Kasus : Ancaman Perundungan Siber – Seruan untuk Empati dan Keamanan Digital
Maraknya perundungan siber di kalangan pelajar Indonesia menggambarkan sisi negatif imersi digital tanpa bimbingan karakter dan literasi yang kuat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) konsisten menyoroti perundungan, termasuk siber, sebagai masalah serius di lingkungan pendidikan. Studi yang dikutip Antama dkk. (2020) merujuk data KPAI menunjukkan peningkatan kasus perundungan siber. Survei CfDS pada Agustus 2021 terhadap 3.077 siswa usia 13 – 18 tahun di 34 provinsi menemukan bahwa 45,35% siswa pernah menjadi korban, sementara 38,41% mengaku sebagai pelaku.

Angka-angka ini mewakili individu muda yang mengalami pelecehan, penghinaan, dan pengucilan di ruang daring, seringkali berujung pada tekanan emosional, kecemasan, depresi, atau bahkan lebih buruk. Ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan program literasi digital yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga etika digital yaitu pemahaman tentang dampak kata-kata dan tindakan di dunia maya dan keamanan digital dengan cara melindungi diri dan melapor jika diperlukan. Selain itu, pendidikan karakter berbasis nilai Pancasila seperti “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “Akhlak Mulia” harus dikuatkan untuk menumbuhkan empati dan perilaku daring yang bertanggung jawab. Sekolah, orang tua, dan komunitas harus bekerja sama menciptakan lingkungan digital yang aman dan memberdayakan.

Menjembatani Kepulauan dengan Mengintegrasikan Pancasila, Karakter, dan Keterampilan Digital dalam Konteks Indonesia
Visi untuk menumbuhkan generasi yang berakar pada Pancasila dan cakap digital membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan; ini menuntut strategi terpadu yang diimplementasikan secara efektif di seluruh Indonesia. Upaya bersama dari institusi pendidikan, pemerintah, keluarga, dan komunitas sangat penting.

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan beberapa inisiatif untuk memperkuat pendidikan karakter dan literasi digital. Kebijakan “Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK), misalnya, adalah upaya eksplisit untuk menanamkan nilai Pancasila dalam sistem pendidikan. Sementara itu, program seperti “Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi” oleh Kominfo bertujuan meningkatkan kemampuan digital masyarakat, dengan fokus pada keterampilan, etika, budaya, dan keamanan digital.

Studi Kasus: Melawan Hoaks – Menumbuhkan Berpikir Kritis di Era Digital
Maraknya hoaks, terutama selama periode sensitif seperti pemilu, mengancam kohesi sosial dan proses demokrasi di Indonesia. Mafindo mencatat 1.698 hoaks pada 2022, yang melonjak menjadi lebih dari 2.100 pada November 2023. Hoaks seringkali melibatkan fitnah terhadap figur politik, disinformasi tentang proses pemilu, dan konten emosional yang memanipulasi opini publik.

Dampaknya parah: polarisasi sosial, ketidakpercayaan pada institusi, bahkan konflik nyata. Kaum muda, sebagai pengguna media sosial yang aktif, sangat rentan jika tidak memiliki keterampilan berpikir kritis. Ini mempertegas pentingnya kompetensi “Bernalar Kritis” dalam Profil Pelajar Pancasila dan tujuan literasi digital. Program pendidikan harus mengajarkan siswa cara mengidentifikasi informasi bias, memverifikasi sumber, dan menjadi penyebar informasi yang bertanggung jawab.

Studi Kasus : Upaya Kemendikbudristek dalam Literasi Digital
Kemendikbudristek aktif dalam program peningkatan literasi digital bagi siswa dan pendidik. Pada Maret 2024, lebih dari 80.000 ASN di lingkungan Kemendikbudristek mengikuti Pelatihan Literasi Digital bersama Kominfo, mencakup empat dimensi utama. Menteri Nadiem Makarim menekankan bahwa literasi digital adalah kunci untuk membangun pola pikir digital, karakter tangguh, nasionalisme kuat, dan keterampilan komunikasi yang andal.

Kemendikbudristek juga bermitra dengan organisasi seperti MilleaLab untuk meningkatkan literasi digital, khususnya di daerah dengan indeks literasi dan numerasi rendah.Tantangan tetap ada, termasuk pemerataan akses teknologi dan adaptasi kurikulum terhadap lanskap digital yang terus berkembang.

Kesimpulan

Membina Generasi Bijak dan Terhubung untuk Indonesia Emas 2045
Menuju “Indonesia Emas 2045”, Indonesia berada di titik kritis. Era Society 5.0 menawarkan peluang besar, tetapi realisasinya bergantung pada kemampuan dan karakter generasi mudanya. Tantangan era digital yaitu hoaks, perundungan siber, dan pengikisan nilai adalah nyata dan mendesak. Namun, Indonesia tidak tanpa bekal.

Kebijaksanaan Pancasila memberikan fondasi moral yang kokoh, sementara literasi digital membekali generasi muda dengan keterampilan untuk maju. Integrasi keduanya dengan melalui kebijakan pemerintah, inovasi pendidikan, dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, maka akan menciptakan generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga beretika, kritis, dan berakar pada identitas nasional.

“Dengan merangkul dua pondasi ini, Indonesia dapat mengubah tantangan Society 5.0 menjadi peluang, memimpin menuju masa depan yang adil, makmur, dan benar-benar ‘emas’. Tugas ini besar, tetapi visi harmoni antara kebijaksanaan dan teknologi layak diperjuangkan.”

Referensi :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

powered by viltis.projekt & bountec